: Belajar dari Puisi Abdul Wachid BS
Dengan apa kau membaca puisi? Bagaimana caramu membaca puisi? Kapan saat yang tepat untukmu membaca puisi? Di mana kau membaca puisi? Siapa yang kau anggap puisi?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang belakangan mengganggu pikiran saya, ketika saya membaca puisi para penyair yang dimuat di media massa. Terlepas dari bagaimana ruang sastra kita telah (dianggap) tidak lagi merepresentasikan khasanah pentas puisi dalam kehidupan nyata, saya tidak ingin membahasnya terlampau jauh. Saya hanya berpikir bahwa saat ini zaman telah menuntut sesuatu yang berbeda. Tatkala pentas puisi tiada lagi pernah dilarang, media semakin bebas menyapa pembacanya dan menyediakan ruang yang luas untuk para pelaku sastra, seolah memberikan sinyal kepada segenap penyair (muda dan tua) untuk terus berpuisi di segala tempat, tentu saja termasuk di dinding facebooknya sendiri misalnya.
Hingga saat ini saya pun masih meyakini bahwa puisi-puisi di media massa tetap terjaga kualitasnya, artinya dapat dikatakan tidak kalah lebih bagus dari puisi-puisi yang telah dibukukan/dipentaskan. Apalagi saat ini, untuk sekedar menerbitkan puisi/mementaskan puisi, tidak lagi harus berurusan dengan otot tangan penguasa. Sudahlah, tulisan ini bukan untuk membahas hal itu.
********
Omong-omong soal puisi di media massa, saya sangat tertarik dengan puisi di Media Indonesia pada edisi 2 November 2014 lalu. Puisi tunggal yang dipilih redaktur untuk edisi tersebut adalah karya Abdul Wachid B S.
Dari puisi Abdul Wachid B S inilah pada akhirnya saya menemukan sesuatu yang kemudian saya sebut “puisi dalam puisi”. Agak berlebihan memang, tetapi inilah yang saya rasakan ketika membaca puisi berjudul Dengan Hati. Membaca puisi tersebut, saya lebih tertarik untuk mengaitkannya dengan bagaimana kita membaca ataupun menulis puisi. Menulis dan membaca puisi dengan hati, sudahkah kita benar-benar telah melakukannya? Pertanyaan ini lantas benar-benar membuat saya gelisah, semalaman susah tidur. Sudahkah kita berpuisi dengan diri yang satu, hati? Atau masih menjadi sesuatu yang terpisah, antara hati dan akal? Berpuisi (membaca dan menulis) jika hanya menggunakan pikiran, saya rasa –setelah saya pikir- adalah sesuatu yang sangat sia-sia. Mengapa saya katakan sia-sia, karena cara berpuisi yang semacam ini hanya menuntut kita untuk berpikiran tinggi, meninggikan akal, tanpa memperdalam rasa dan merendahkan hati. Padahal, untuk menyampaikan “dakwah” puisi ataupun untuk menerima “khasanah” puisi membutuhkan kedalaman rasa dan kerendahan hati, bukan pikiran yang tinggi atau dalam bahasa keseharian sering disebut cerdas. Berikut bait pertama Puisi Abdul Wachid BS yang berjudul Dengan Hati itu :
Ketika kau berkata-kata
Dengan dirimu sendiri
Apakah ada dua dirimu yang
Saling bertanya?
Apakah dirimu yang
Satu terlahir dari dirimu yang
Lain? tetapi siapakah yang
Kau sebut diri itu?
Ya. Ketika para penyair hanya berpuisi dengan menggunakan akalnya, maka puisi-puisinya tak jauh beda dengan ruang hampa. Hal ini telah disabdakan penyair ybs melalui larik puisi berikut :
Ketika kau berkata-kata
Dengan pikiranmu sendiri
Sungguh dirimu tidak ada
Seperti ruang tak ada penghuninya
Pikiran hanyalah bayang-bayang yang
Ada karena sinar lampu nyala
Tetapi ketika minyaknya habis
Apakah bayang-bayang masih ada?
Tak ada kesan yang mengesankan dan pesan yang berpesan. Jika demikian yang terjadi, masih bergunakah para penyair berpuisi? Meskipun demikian, semua itu agaknya belum terlambat, masih ada waktu untuk kita membiasakan diri berpuisi dengan hati, karena satu alasan, dengan cara demikianlah puisi kita kan abadi. Sebagaimana syair ini berkata :
Dirimu tetap berjaga
Dari musim ke lain musim
Dari ruang ke waktu
Hingga malaikat peniup sangkakala
Meniupkan ruh
Kembalilah tubuh
Dirimu tetap berjaga yang
Kau kenali tidak lagi pikiran
Selanjutnya, setelah para penyair berhasil berpuisi dengan hati, maka materi dakwah puisi kita akan mencapai tingkatan yang seperti ini :
Dirimu tetap berjaga yang
Kau kenali tidak lagi pikiran
Tersebab otakmu telah terbanting
Kembali menjadi tanah
Ketika hatimu berkata-kata
Tidak ada lagi siasat kebohongan
Tersebab tubuhmu pada penciptaan yang
Kemudian berkata-kata dengan hatimu
Dengan hatimulah
Jembatan itu terus berjaga
Kau aku melaluinya
Dengan hati-hati
Menambahkan kalimat sakti Jokpin, melalui tulisan singkat ini saya ingin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puisi dengan hati (hati). Semoga ia kan abadi.
Jogja, 27 November 2014 (M Aziz Darmakelana)