Ilustrasi/Pinterest.com |
Setiap kali pulang kampung dalam lima tahun belakangan ini, saya selalu berusaha memanfaatkan momen di rumah dengan sebaik-baiknya. Berbagai kegiatan yang sekiranya bisa menambah kedekatan saya dengan keluarga, terutama pada emak, pasti saya lakukan. Salah satunya adalah memijit emak, baik dengan atau tanpa permintaan darinya. Selepas magrib, sembari nonton tivi biasanya emak tiduran tengkurap di lantai bersama cucu-cucunya. Pada saat seperti itulah, tangan saya selalu tergerak untuk memberikan pijitan-pijitan ringan di punggung, pundak, dan kakinya, untuk sekadar mengusir rasa capek dari tubuhnya. Saya senang melakukannya, terlebih lagi jika di depan keponakan-keponankan saya. Karena dengan begitu, saya seolah telah mengatakan sesuatu pada mereka, dekat-dekatlah kalian dengan simbahmu yang kian menua itu. Ekspekstasi lain, siapa tahu dengan begitu mereka jadi terdorong untuk melakukan hal yang sama pada bapak dan ibunya.
Lantas, bagaimana sebenarnya soal rasa pijitan saya? Kata emak pijitan saya memang enak. Mantap. Mirip seperti pijitan ayuk saya yang nomor satu yang saat ini memang berprofesi sebagai tukang pijit. Tentu saya sangat senang mendengar pujiannya itu dan semakin bersemangatlah saya dalam memberikan pijitan. Anak mana yang tak senang mendapatkan pujian dari ibunya? Ya, kan?
Rasanya keahlian saya bukan cuma bisa memberikan pijitan, saya juga bisa memberikan terapi kerokan. Selama di Jogja, sudah tak terhitung berapa kali saya dimintai tolong untuk ngerok punggung teman-teman saya dengan koin dan minyak kayu putih atau minyak telon (hingga membuat panen daki). Kata mereka, hasil kerokan saya manjur jur. Angin pasti kabur bur. Tolak angin tentu lewat jauh (lagi pula memang mereka bukanlah orang pintar dan itu membuat mereka sadar diri..haha). Tapi saya tahu, yang sebenarnya terjadi adalah karena di antara sekian banyak teman mereka, hanya sayalah yang mau ngerok. Itu saja. Ya kalau perkara manjur itu mungkin karena memang karamah orang soleh lah ya, jadi saya rasa itu tak perlu terlalu digemborkan atau bahkan dibanggakan. *Haishhh
Tapi meskipun saya kerap dimintai tolong untuk ngerok orang, secara pribadi saya tak mau dikerok orang. Saya pilih swa-kerok saja. Ketika merasa badan sedang masuk angin, saya cukup mengerok bagian dada saya dan akan langsung sembuh biasanya. Tapi ini bukan berarti saya tak pernah dikerok. Dulu waktu masih kecil dan sering masuk angin, hanya kerokanlah satu-satunya pengobatan yang sering saya terima dari emak. Dan itu rasanya sakit sekali karena alat keroknya adalah pantat kaleng bekas susu bendera yang biasanya juga dipakai buat menakar beras (empat kaleng beras sama dengan 1 kilogram). Dan menurut saya, kerokan dengan menggunakan koin jauh lebih sakit dibandingkan kaleng susu.
Itulah alasan kenapa saya tidak mau dikerok orang. Dalam bayangan saya, dikerok itu rasanya tetap sakit walau kata si pengerok sudah dilakukan dengan cara saksama dan dalam tempo sepelan-pelannya (Itu kan ukuran dia. Lha kita yang dikerokin, mati-mati menahan rasa sakit). Ya, kan?
Hari ini, sembari menuliskan cerita ini saya nyambi swa-pijit. Tadi pagi sepertinya saya tidur dengan posisi yang salah hingga mengakibatkan tengkuk dan pundak saya nyeri bukan main. Sebelum saya lakukan pemijitan, rasa sakitnya bukan kepalang. Namun seiring dengan hampir selesainya tulisan ini, rasa sakit itu sedikit demi sedikit mulai berkurang. Lumayan. Setidaknya sekarang saya sudah bisa noleh ke kanan dan ke kiri tanpa disiksa rasa sakit lagi.
Mungkin emak benar. Pijitan saya sangatlah ampuh dan mantap.
Baca juga : Banyu Colongan, Obat Mujarab Untuk Segala Macam Penyakit
Baca juga : Banyu Colongan, Obat Mujarab Untuk Segala Macam Penyakit
Aih, tiba-tiba saya jadi merasa seperti sesosok suami idaman para gadis di seantero dunia. Bayangkan, kurang apalagi coba? Mijit bisa. Ngerokin juga bisa. Kamu nggak bakalan masuk angin. Apalagi kecapekan. Karena begitu kamu capek dikit aja, tanganku langsung bergegas memberikan pijitan yang tentu selain enak dan mantap, juga sangat menggairahkan.Sungguh sangat beruntung wanita yang mendapatkan pria seperti itu.
Jogja, menjelang Magrib, 14 Mei 2016